Menelaah 'Illat Ats-Tsamaniyah: Landasan Fikih Transaksi Emas Secara Tunai

Artikel ini mengulas konsep fikih muamalah 'Illat Ats-Tsamaniyah (sebab hukum sebagai alat tukar) yang menjadi landasan mengapa emas dan mata uang kertas modern (seperti Rupiah) dikategorikan sebagai barang ribawi. Artikel ini menjelaskan mengapa status tersebut mengharuskan transaksi jual beli emas dilakukan secara tunai (Hulul) dan serah terima langsung (Taqabudh) untuk menghindari Riba An-Nasi'ah (riba karena penundaan), serta mengaitkan prinsip ini dengan model bisnis syariah yang diterapkan oleh Marwah Gold.

TIPSINFORMATIF

PramaD

11/14/20253 min read

satu tangan memegang uang kertas Rupiah dan tangan lainnya memegang batangan emas kecil
satu tangan memegang uang kertas Rupiah dan tangan lainnya memegang batangan emas kecil

Menelaah 'Illat Ats-Tsamaniyah: Landasan Fikih Transaksi Emas Secara Tunai

Dalam transaksi logam mulia, khususnya emas batangan, terdapat ketentuan umum yang mensyaratkan pembayaran secara tunai dan kontan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa emas tidak dapat diperlakukan seperti aset komersial lainnya—misalnya, dibayar dengan uang muka, ditangguhkan penyerahannya, atau diangsur dalam periode tertentu?

Jika emas dipandang murni sebagai komoditas, restriksi ini mungkin tampak tidak lazim. Akan tetapi, dalam perspektif fikih muamalah (hukum transaksi Islam), emas memiliki kedudukan dan status hukum yang khusus.

Jawaban atas fenomena ini terletak pada sebuah konsep fikih yang dikenal sebagai 'Illat Ats-Tsamaniyah. Istilah ini bukan sekadar ketentuan historis, melainkan merupakan landasan fundamental mengapa transaksi yang melibatkan emas dan mata uang diatur secara ketat untuk menghindari praktik Riba.

Status Emas sebagai 'Barang Ribawi'

Emas, bersama dengan perak, kurma, gandum, jelai, dan garam, dikategorikan sebagai "barang ribawi" (al-ashnaf ar-ribawiyyah). Status ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, di mana Rasulullah ï·º bersabda:

"(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, (syaratnya) harus sama takarannya dan harus tunai (yadan bi yadin/dari tangan ke tangan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesukamu, asalkan tunai." (HR. Muslim no. 1587)

Perintah "harus tunai" (yadan bi yadin/dari tangan ke tangan) merupakan inti dari ketentuan ini. Apabila terjadi penundaan serah terima—sebagai contoh, pembayaran dilakukan hari ini sementara emas baru diterima di kemudian hari—maka transaksi tersebut dapat terkategori sebagai Riba An-Nasi'ah (Riba akibat penundaan).

Memahami 'Illat Ats-Tsamaniyah: Sebab Hukum (Illah) Status Emas

Para ulama fikih telah melakukan ijtihad untuk mengidentifikasi 'illah (sebab hukum) yang menjadikan keenam komoditas tersebut dikategorikan sebagai barang ribawi.

Untuk komoditas pangan (kurma, gandum, dst.), 'illah yang disepakati adalah statusnya sebagai makanan pokok yang dapat ditakar atau ditimbang.

Namun, untuk emas dan perak, 'illah-nya berbeda. Sejumlah ulama Salaf, termasuk Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, menguatkan pendapat bahwa 'illah untuk emas dan perak adalah Ats-Tsamaniyah.

Secara etimologis, Tsamaniyah (berasal dari kata tsaman) merujuk pada "standar nilai" atau "fungsi sebagai alat tukar".

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa pendapat yang paling kuat (rajih) mengenai 'illah emas dan perak adalah Ats-Tsamaniyah, yakni sifatnya sebagai alat tukar. Secara singkat, emas dan perak pada masa Rasulullah ﷺ (dalam bentuk Dinar dan Dirham) dilarang ditransaksikan secara tertunda karena fungsi esensialnya sebagai mata uang.

Relevansi 'Illat Ats-Tsamaniyah dengan Mata Uang Kontemporer

Di sinilah letak relevansi krusial antara fikih klasik dengan sistem moneter modern.

Mata uang kertas (fiat money) yang digunakan saat ini, seperti Rupiah, Dolar, atau Riyal, secara fisik memang bukan emas. Akan tetapi, fungsi fundamental dari uang kertas tersebut adalah sebagai Tsamaniyah (alat tukar dan standar nilai).

Oleh karena uang kertas (fiat money) memiliki 'illah yang identik dengan emas (yakni Ats-Tsamaniyah), maka hukum fikih yang berlaku pun menjadi sama.

Konsekuensinya, transaksi yang melibatkan dua item yang sama-sama memiliki 'illah Tsamaniyah (dalam hal ini, Emas ditukar dengan Rupiah) harus tunduk pada ketentuan lanjutan hadits: "juallah sesukamu, asalkan tunai (yadan bi yadin)."

Ketentuan "tunai" dalam konteks ini mencakup dua syarat fundamental:

  1. Hulul (Kontan): Pembayaran diselesaikan lunas pada saat akad.

  2. Taqabudh (Serah Terima): Terjadi serah terima fisik antara emas dan alat bayar dalam satu majelis (forum) transaksi, tanpa jeda waktu.

Apabila terjadi pemisahan waktu, misalnya pembayaran melalui transfer perbankan pada jam 10 pagi sementara emas baru diterima melalui kurir pada jam 3 sore, maka syarat Taqabudh tidak terpenuhi. Menurut pandangan ulama yang mengadopsi 'illah Ats-Tsamaniyah, transaksi semacam itu berpotensi besar jatuh ke dalam Riba Nasi'ah.

Komitmen Marwah Gold dalam Implementasi Muamalah Syariah

Pemahaman mendalam atas 'Illat Ats-Tsamaniyah merupakan landasan utama yang membentuk model bisnis Marwah Gold.

Meskipun banyak platform menawarkan kemudahan transaksi digital, kami di Marwah Gold memilih untuk memfokuskan layanan pada kepatuhan syariah secara mutlak. Kami memahami sepenuhnya bahwa pertukaran antara emas dan Rupiah—keduanya memiliki 'illah Tsamaniyah—sangat rentan terhadap Riba jika tidak dilaksanakan sesuai ketentuan fikih.

Oleh karena itu, Marwah Gold secara eksklusif mengkhususkan layanan pada:

  • Transaksi Fisik: Nasabah menerima dan memegang emas secara langsung.

  • Tunai dan Langsung (Kontan & Taqabudh): Pembayaran (uang) dan emas diserahterimakan secara simultan di satu lokasi, baik di Butik Emas kami maupun melalui layanan COD Syariah, untuk memenuhi syarat Hulul dan Taqabudh secara sempurna.

  • Prinsip Kehati-hatian (Tanpa Penundaan Digital): Kami tidak memfasilitasi jual beli melalui transfer perbankan yang berpotensi menimbulkan jeda waktu (penundaan) dengan penyerahan barang, sebagai bentuk kehati-hatian untuk menghindari syubhat (keraguan) Riba.

Hal ini bukanlah sikap "anti-teknologi", melainkan manifestasi dari komitmen kami untuk memastikan bahwa setiap gram emas yang dimiliki nasabah diperoleh melalui mekanisme yang telah terverifikasi kesesuaiannya dengan kaidah syariah dan berada di bawah pengawasan ketat Dewan Pengawas Syariah (DPS) kami.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kewajiban transaksi emas secara tunai bukanlah sebuah ketentuan arbitrer. Ia merupakan implementasi langsung dari prinsip fikih 'Illat Ats-Tsamaniyah, yang dirancang untuk menjaga integritas dan keberkahan aset serta menghindarkannya dari praktik Riba.

SUMBER:

  • Rumaysho.com: Membahas fikih dan hukum jual beli emas secara kredit dan tunda.

  • Muslim.or.id: Penjelasan mendalam mengenai definisi dan 'illah (sebab hukum) dari barang-barang ribawi.

  • Syarhul Mumti' 'ala Zadil Mustaqni' (Kitab Fikih): Karya Syaikh Al-'Utsaimin yang menjadi rujukan dalam penetapan 'illah Ats-Tsamaniyah.