Kisah Seguci Emas: Pelajaran Amanah dan Sifat Wara' Salafus Shalih Terhadap Harta

Artikel ini mengulas sebuah hadits mengenai dua orang dari umat terdahulu yang menemukan seguci emas, di mana keduanya menolak harta tersebut karena prinsip kehati-hatian (wara') dan amanah. Kisah ini dianalisis relevansinya terhadap prinsip muamalah syariah modern dalam transaksi logam mulia, yang mengutamakan akad fisik dan tunai untuk menghindari gharar dan riba.

INFORMATIFKEWASPADAAN

PramaD

11/7/20253 min read

Sebuah guci kuno berisi koin-koin emas yang bersinar
Sebuah guci kuno berisi koin-koin emas yang bersinar

Kisah Seguci Emas: Pelajaran Amanah dan Sifat Wara' Salafus Shalih Terhadap Harta

Memulai sebuah narasi seringkali dapat memberikan ilustrasi yang kuat. Bayangkan sebuah skenario di mana seseorang baru saja mengakuisisi sebidang lahan dan, dalam proses pengolahannya, Tiba-tiba, cangkulnya membentur sebuah benda keras. Setelah digali, ia menemukan sebuah guci yang penuh berisi koin emas murni.

Reaksi yang umum diharapkan adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang tidak terduga, yang berpotensi mengubah kondisi finansial secara signifikan.

Namun, bagaimana jika reaksinya justru berkebalikan? Penemuan tersebut justru menimbulkan kekhawatiran, rasa takut akan pertanggungjawaban, dan keinginan untuk segera mengembalikannya?

Hal ini bukanlah fiksi, melainkan sebuah kisah salaf tentang emas yang otentik, terjadi pada umat terdahulu dan diriwayatkan oleh Rasulullah Shallallahu โ€˜alaihi wa sallam. Kisah ini mendemonstrasikan tingginya sifat amanah dan wara' (kehati-hatian), sebuah sikap yang mungkin jarang ditemui pada masa kini.

Awal Mula Kisah Seguci Emas

Kisah ini termaktub dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dikisahkan, seseorang dari Bani Israil (umat terdahulu) membeli sebidang tanah dari orang lain. Ketika si pembeli sedang mengolah tanah tersebut, ia menemukan sebuah guci berisi emas (sebuah kisah seguci emas yang nyata).

Reaksi si pembeli tidak terduga. Ia merasa harta tersebut bukan haknya. Ia segera mendatangi si penjual tanah.

"Ambillah emas ini, sebab saya hanya membeli tanahnya saja, tidak termasuk emas yang terkubur di dalamnya," kata si pembeli.

Debat Amanah: "Ini Bukan Hak Saya!"

Di sinilah letak keistimewaan kisah ini. Si penjual tanah ternyata memiliki standar amanah yang setara.

Ia menolak dengan tegas. "Saya tidak bisa menerimanya. Saya telah menjual tanah itu kepadamu beserta segala isinya. Itu adalah rezeki Anda, bukan milik saya lagi," jawab si penjual.

Kedua orang shalih ini akhirnya berdebat. Si pembeli bersikeras mengembalikan, sementara si penjual bersikeras menolak. Keduanya diliputi kekhawatiran jika mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Mereka khawatir harta tersebut berstatus syubhat (samar) atau bahkan haram, yang dapat merusak ibadah dan keberkahan hidup.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut:

"Orang yang membeli tanah berkata: 'Ambillah emasmu dariku, karena aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emas.' Orang yang memiliki tanah (penjual) berkata: 'Aku telah menjual tanah dan segala isinya kepadamu.'" (HR. Bukhari No. 3472 & Muslim No. 1721)

Karena tidak menemukan titik terang, mereka akhirnya membawa masalah ini ke hadapan seorang hakim (atau orang bijak) untuk diadili.

Hakim itu bertanya, "Kalian memiliki anak?"

Si penjual menjawab, "Saya memiliki seorang putra."

Si pembeli menjawab, "Saya memiliki seorang putri."

Hakim itu pun memberikan solusi yang sangat bijak: "Nikahkan putra Anda dengan putrinya. Nafkahkan sebagian harta (emas) itu untuk keduanya, dan sebagian lagi sedekahkan."

Dengan demikian, emas tersebut akhirnya dimanfaatkan untuk kebaikan, menyambung silaturahmi, dan sedekah, setelah dipastikan tidak ada hak orang lain yang terambil secara zalim.

Sikap Wara' Salafus Shalih Terhadap Harta

Kisah ini memberikan pelajaran berharga. Para Salafus Shalih (orang-orang shalih terdahulu) memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi terhadap harta yang tidak jelas asal-usulnya. Sifat wara' mereka mendorong mereka untuk lebih memilih "kehilangan" emas daripada menanggung risiko pertanggungjawabannya di akhirat.

Mereka memahami sepenuhnya bahwa harta, khususnya emas, adalah sebuah ujian. Emas memiliki nilai yang tinggi, sehingga cara perolehannya harus dipastikan jelas dan halal.

Sifat amanah dan kehati-hatian ini merupakan fondasi fundamental dalam muamalah, khususnya yang berkaitan dengan harta. Dalam konteks kontemporer, diskursus mengenai emas seharusnya tidak hanya terfokus pada keuntungan atau fluktuasi harga, tetapi secara esensial mencakup kejelasan akad dan kepastian status kepemilikan.

Relevansi Kisah Emas di Era Kontemporer

Semangat amanah dan penghindaran gharar (ketidakpastian) dari kisah salaf tersebut memiliki relevansi tinggi dengan prinsip muamalah syariah. Prinsip inilah yang menjadi fokus utama Marwah Gold.

Kepemilikan emas, sebagai aset pelindung nilai, harus dimulai dengan metode yang sepenuhnya amanah dan sesuai syariah. Oleh karena itu, Marwah Gold sangat teguh memegang prinsip untuk hanya melayani transaksi fisik secara tunai.

Baik pembelian langsung di Butik Emas kami ataupun melalui layanan COD Emas Syariah, seluruhnya diwajibkan tunai dan serah terima (emas dan uang) di lokasi yang sama. Hal ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya syarat Taqabudh (serah terima) dan Hulul (kontan) secara sempurna.

Marwah Gold tidak melayani jual beli digital atau transfer, karena berpotensi menimbulkan gharar (ketidakpastian) dan riba (bunga) yang jelas dilarang. Seluruh proses operasional di Marwah Gold, dari pembelian hingga buyback (jual kembali), diawasi secara ketat oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Kisah seguci emas tersebut memberikan sebuah pelajaran fundamental: bahwa keberkahan (nilai spiritual dan manfaat) dari suatu harta jauh lebih esensial daripada nilai nominalnya semata. Ini menjadi pengingat akan pentingnya integritas dalam setiap transaksi.

SUMBER:

  • Shahih Bukhari & Muslim: Hadits mengenai kisah dua orang dari Bani Israil yang menemukan guci emas (HR. Bukhari No. 3472 & Muslim No. 1721).

  • Muslim.or.id: Artikel "Ketika Emas Ditolak", yang membahas pelajaran dari hadits tentang guci emas.